KabardenpasarTV – Upacara Ngaben Massal atau ngaben secara bersamaan kini sudah biasa dilakukan masyarakat di Bali. Umumnya digelar oleh desa adat masing -masing secara periodik, setahun sekali, 5 tahun sekali bahkan ada yang 10 tahun sekali.
Prosesi ngaben relatif sama disetiap desa adat. Sedikit berbeda yang dilakukan oleh desa adat Munduk Andong, desa Bangli, Kecamatan, Baturiti, kabupaten Tabanan Bali.
Dalam upacara ngaben di beberapa tempat jenazahnya diambil langsung dengan menggali serta, namun, pada ngaben ngirit di Munduk Andong, sawa atau jasadnya disimbolkan dengan kayu cendana yang berisi sesuratan aksara Bali.
Menurut Ida Pedanda dari Griya Kemenuh Kalibalang, simbolisasi dengan menggunakan kayu cendana atau majegahu dilakukan ketika proses ngaben yang tidak ada jasadnya.
“kenapa menggunakan kayu cendana atau majegahu?. Itu karena kedua kayu ini diyakini sebagai pohon suci yang tumbuhnya di surga,” terang Ida Pedanda usai muput karya.
“Itu berdasarkan kitab suci yama tatwa, yama purwa tatwa, yama purana tatwa. Sesuai tata cara atau pidabdab upacara pengabenan yg ada di Bali,” lanjutnya.
Meski menggunakan simbol dari kayu, namun prosesinya tetap dilakukan secara lengkap layaknya ada jenazah. Simbol ini diupacarai dengan sarana sama saat mengupapira sawa.
Hal ini terlihat saat warga desa adat Munduk Andong, Desa Bangli, Kecamatan, Baturiti, Tabanan menggelar ngaben massal pada Kamis,19 Oktober 2023.
Ngaben massal ini dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Selain untuk kebersamaan memperat hubungan antar krama, ngaben massal ini juga bertujuan untuk meringankan biaya.
Setiap keluarga peserta ngaben massal ini dikenakan biaya sebesar Rp7.000.000. Secara nilai, nominal ini terbilang relatif murah jika dibandingkan ngaben yang dilaksanakan sendiri.
“selain 25 sawa ada 8 ngelungah (bayi atau anak yang belum tanggal gigi) yang ikut dalam ngaben massal ini. Astungkara acara berjalan lancar,” ujar I Nyoman Sumawan, Ketua panitia ngaben massal usai acara.
Bendesa Adat Munduk Andong I Putu Suartika menyebut ngaben ngerit atau ngaben massal ini telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Bahkan dari cerita para pelingsir ngaben massal ini sudah dilakukan di masa penjajahan.
“secara pasti saya juga tidak tahu kapan pertama kali dimulainya ngaben massal di desa kami. Tapi menurut orang tua kami pada tahun 40-an, 50-an itu sudah ada ngaben massal. Artinya kebersamaan dan kekeluargaan di desa sudah terbentuk sejak lama,” jelas Suartika.
Dukungan dari krama adat lain yang turut membayar patus (iuran wajib) untuk meringankan beban masyarakat yg melaksanakan ngaben massal, salah satu bukti, tutupnya.***