Mataram NTB -Di dunia digital, penggunaan media sosial jadi meningkat terutama saat pandemi covid-19 berlangsung. Termasuk di dalamnya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan bullying dengan dalih kebebasan berpendapat.
Pola komunikasi masyarakat Indonesia terdapat 10 persen yang membuat informasi dan sisanya mendistribusikan informasi. Sayangnya, beberapa diantaranya tidak detail dan tidak memperhatikan kredibilitas informasi yang didapatkan. Menurut Ilham seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Mataram NTB, media sosial lebih banyak berperan terhadap konten-konten negatif.
Kebebasan berpendapat merupakan setiap hak asasi warga negara dan dijamin oleh undang-undang. Namun, bebas bukan berarti tanpa aturan, seperti bebas menyebarkan informasi bohong dan sebagainya. Kebebasan berpendapat adalah hal setiap manusia untuk berbicara secara lisan maupun tulisan. Bebas untuk mencari dan menggunakan informasi yang dimiliki untuk menentukan sikap atau tindakan.
“Jangan sampai dengan adanya kebebasan berpendapat ini tidak adanya etika dalam berinternet,” ujar Ilham dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (15/11/2021).
Dasar hukumnya untuk beretika di dunia digital terdapat pada Undang-Undang ITE pasal 28 ayat 1, Pasal 28 ayat 2, Pasal 27-34. Ketika masyarakat paham mengenai hukuman dari penyalahgunaan kebebasan berpendapat hal tersebut akan merugikan mereka sendiri, seperti tindakan penyebaran berita hoaks, melakukan perundungan, atau ujaran kebencian.
Ia menyampaikan, kemerdekaan menyampaikan dalam bentuk lisan dan tulisan harus bebas dan bertanggung jawab sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang tidak melanggar norma dan aturan, bebas berpendapat sah saja untuk dilakukan.
Kita harus beretika dalam berinternet. Etika berinternet adalah tata krama dalam menggunakan internet, selama itu sesuai dengan norma dan aturan seperti layaknya di dunia nyata. Urgensi dari netiket itu diperlukan sebagai manajemen interaksi penggunaannya yang berasal dari seluruh dunia. Jadi perlu adanya batasan di ruang digital karena adanya perbedaan latar belakang masyarakat di seluruh dunia.
Berbagai macam fasilitas dalam internet memungkinkan seseorang bertindak secara tidak etis. Hal yang perlu dipahami oleh pengguna internet mereka mengejek karena berpikir tidak ada yang menenali, padahal ada yang namanya jejak digital.
“Untuk bijak bermedia sosial, yang harus dilakukan ialah jangan pernah membawa SARA ketika bermedia sosial karena akan sangat berisiko,” ungkapnya.
Kemudian, ketika membaca informasi telurusi kebenaran dan sumber beritanya. Bandingkan informasi serupa di media lain. Menurutnya, hal ini sangat dibutuhkan para pengguna media sosial untuk menerangkan apakah informasi yang didapat itu benar atau tidak. Sebagai pengguna medsos, kita pun perlu senantiasa untuk menghormati privasi orang lain. Berpendapat di media digital sesuai dengan etika dilakukan dengan cara tidak menyebarkan hoaks, dan mengetahui sebuah isu secara detail.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Lombok Barat, NTB, Senin (15/11/2021) juga menghadirkan pembicara, Tiara Maharani (Writer – Correspondent Indonesia), Nurul Amalia (Pramugari Saudi Airlines dan Forex Trader), dan Vizza Dara (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.