Sikka NTT -Hoaks atau berita bohong dan atau berita tak bersumber menjadi bahaya laten yang banyak ditemukan di media sosial.
Dikatakan oleh Dosen Komunikasi STFK Ledalero, Amandus Benediktus Seran Klau, hoaks dalam KBBI berarti berita bohong atau tidak bersumber’.
“Sementara dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai Malicious Deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat,” kata Amandus saat berbicara dalam acara webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (5/11/2021).
Ia melanjutkan, kemunculan hoaks mempunyai sejarah yang panjang, tetapi baru menjadi makin marak setelah munculnya media-media baru.
“Media-media baru adalah media-media yang muncul setelah adanya internet. Kelahiran media-media baru yang mempunyai karakteristik berbeda menjadi dasar pengelompokan media menjadi mendia baru dan media konvensional,” tambahnya.
Perbedaan umum antara media baru dengan media konvensional, lanjut Amandus, di antaranya adalah:
Pertama, terkait konten atau isi. Konten media baru lebih banyak dan beragam. Dengan ini, pembaca lebih leluasa memilih berita yang disukai atau tidak.
“Sedangkan untuk media mainstream, informasi yang diberikan itu dibatasi oleh pengelola media,” tambahnya.
Kedua, penyebaran. Dalam media sosial, informasi dapat dengan mudah diperbanyak dan didistribusikan. Informasi juga lebih cepat disebarluaskan. Sedangkan untuk media mainstream. penyebaran informasinya sangat terbatas.
Ketiga, chanel media sosial lebih fleksibel, karena informasi dapat disampaikan melalui berbagai macam bentuk (multi media chanel).
“Sedangkan, media mainstream masil sebatas instrumen yang digunakan oleh media itu sendiri.”
Keempat, interaktivitas. Media online lebih interaktif. Masyarakat bisa memberikan masukan atau sekadar komentar secara langsung pada kolom yang disediakan oleh media online.
“Namun, kita tidak akan bisa memberikan komentar pada media mainstream, kecuali dengan mengirim surat pembaca atau kalau ada acara televisi yang menyediakan telepon interaktrif,” tambahnya lagi.
Kelima kredibilitas media mainstream lebih akurat karena informasinya memiliki legalitas. Orang tidak bisa sesukanya membuat koran, televisi atau radio
Sebaliknya, ketika kita ingin membuat media online, kita tinggal membuat akun blog, Facebook, dan lain-lain dengan sangat mudah. Berita yang disampaikan juga bisa kurang dipercaya, karena tidak disiapkan secara baik dan tidak ada pihak yang mempertanggungjawabkan.
Sayangnya, media baru termasuk media sosial, yang dalam beberapa aspek lebih unggul dari media mainstream, membuat media sosial lebih sering digunakan sebagai media pembentuk opini publik.
Kata Amandus, media sosial terbukti mampu memengaruhi pembentukan pendapat publik yang menentukan sikap politik masyarakat. Dan dalam beberapa kasus, medsos bahkan telah menggeser peran media konvensional.
Ia juga menyinggung bagaimana banyaknya contoh kasus yang bisa diangkat untuk membuktikan bahwa media sosial benar-benar digunakan untuk membentuk dan menggiring opini publik.
“Sejumlah platform media sosial tampak dimanfaatkan sungguh-sungguh sebagai media propaganda ideologi, entah agama pun politik. Hal ini bisa mengadu domba anak bangsa dan bisa berujung pada disintegrasi bangsa. Karena itu, harus dihentikan,” pungkasnya.
Selain Amandus Benediktus Seran Klau, Dosen Komunikasi STFK Ledalero, hadir pula dalam acara webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (5/11/2021) yaitu Advokat dan Managing Partner Law Office Amali & Associates Rizky Rahmawati, Fendi, Founder Superstar Community Indonesia dan Marizka Juwita sebagai key opinion leader.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.