Gianyar -Kebebasan berekspresi ialah hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Termasuk di dalamnya ekspresi lisan, tercetak, materi audiovisual, ekspresi budaya, artistik, dan politik.
Kebebasan berekspresi memiliki aturan hukum dan termasuk ke dalam salah satu hak asasi manusia. Dalam hukum negara kebebasan berekspresi diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, dalam praktiknya kebebasan berekspresi tetap memiliki batasan-batasan agar tidak melanggar aturan, norma, dan etika di masyarakat.
Ela Rahmawati, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Denpasar menjelaskan, konsep kebebasan berekspresi muncul dari masyarakat Yunani Kuno. Awalnya kebebasan berekspresi tersebut terbatas hanya pada kalangan bangsawan, tetapi lambat laun semua kalangan menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengembangkan pengetahuan hingga mengkritik pemerintahan.
“Di Indonesia sendiri kebebasan berekspresi telah diperjuangkan sejak lama dari zaman penjajahan oleh Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara,” tutur Ela dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (19/10/2021).
Dalam agama Islam, berekspresi merupakan suatu bentuk kebebasan yang memiliki kaidah dan prinsip yang tegas. Kebebasan berekspresi dianggap hal yang wajar selama sesuai dengan koridor yang telah ditentukan.
“Kebebasan berpendapat harus dimanfaatkan untuk tujuan menyebarkan kebaikan. Tidak untuk menyebarluaskan kejahatan dan keburukan. Kebebasan berekspresi digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain. Di dunia digital jangan sampai kita menyebarkan hoaks,” ujarnya.
Maka dari itu, kita harus memiliki self awareness tentang apa yang kita lakukan, khususnya ketika kita bertutur kata di media digital. Kita harus menyadari semua tatanan, baik itu dalam agama atau kenegaraan sehingga kita tidak melewati batasan-batasan dalam berekspresi dan merugikan orang lain. Kebebasan berekspresi kita dapat dibatasi pada beberapa situasi, seperti ketika berisi ujaran kebencian, melanggar hak orang lain, dan memicu diskriminasi atau kekerasan. Sehingga kita perlu benar-benar bijak dalam menggunakan kebebasan berekspresi, terutama di ruang digital.
Selain mengedepankan kepandaian, kita perlu berupaya untuk menggunakan adab. Agar keilmuan kita selalu bermanfaat. Jadi, ketika kita berekspresi itu menggunakan sopan santun dan etika, serta selalu melingkupkannya dalam keseharian kita. Ujaran-ujaran dan apa yang kita sampaikan di media sosial harus berhati-hati supaya tidak melukai orang lain.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (19/10/2021) juga menghadirkan pembicara, Alaika Abdullah (Virtual Assistant & Digital Content Creator), Chris Jatender (Kaprodi IT STTI), dan Marizka Juwita (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
Check Also
Dukung Pertanian Rumput Laut—BRI Berikan Bantuan Sarpras, Pelatihan, Hingga KUR Petani
Denpasar – BRI Regional Office Denpasar mendukung sektor pertanian khususnya pertanian rumput laut di Nusa …